[Resensi] Writer Vs Editor - Ria N. Badaria

Judul buku : Writer Vs Editor
Penulis : Ria N. Badaria
Cover : Marcel A. W.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: November 2015 (cetakan kedua)
Tebal buku : 312 hlm
ISBN : 9786020322971

Blurb.
Hidup terkadang tidak sesuai dengan apa yang direncanakan... Kalimat yang tepat untuk menggambarkan kehidupan Nuna R. Mirja, bekerja sebagai pegawai swalayan padahal bercita-cita menjadi penulis. Nuna menyebutnya sebagai "pelencengan rencana hidup".

Berkali-kali menerima penolakan dari berbagai penerbit atas naskahnya sudah cukup menjadi alasan Nuna untuk melupakan cita-citanya. Hingga ia menerima surat dari salah satu penerbit yang menyatakan naskahnya layak untuk diterbitkan. Sepucuk surat yang membuat Nuna berpikir hidupnya akan mulai berjalan sesuai rencana.

Sayangnya dia salah. Ini justru awal dari berbagai pelencengan rencana hidup lainnya. Mulai dari mendapat editor yang sangat menyebalkan untuk naskahnya. Bertemu kembali dengan cinta pertamanya, sosok sempurna yang selalu membuatnya patah hati, setiap kali ia menyadari perasaannya takkan pernah tersampaikan. Hingga kehilangan orang yang begitu penting dalam hidupnya, yang mengharuskannya berusaha lebih keras di antara dilema cinta yang datang tak terduga.

Ide cerita.
Pada awalnya, saya sudah berekspektasi tinggi untuk novel ini karena judulnya; Writer Vs Editor. Saya selalu berharap akan ada pemaparan kegiatan melahirkan novel; penentuan ide/tema novel, proses penulisannya hingga tahap editing dan terbitlah novel. Harapan tetap harapan, Nuna sang tokoh utama langsung diceritakan mengalami berkah besar karena naskahnya akhirnya diterima dan sedang masuk proses editing bersama editor bernama Rengga. Mengenai isi novelnya penulis tidak menceritakannya meskipun hanya secuil. Sangat disayangkan sekali bukan, padahal setting pekerjaan yang digunakan penulis berhubungan langsung dengan karya berupa novel.

Konflik yang terbangun sudah dibisa ditebak akan berputar dimana. Karena hal ini, tantangan penulis adalah bagaimana pembaca bisa hanyut dengan kejutan-kejutan yang tidak bisa diduga pembaca. Sedikit saya ceritakan, naskah Nuna akhirnya diterima GlobalBook (penerbit) dan editor yang menanganinya bernama Rengga. Proses editing susah dijalankan karena Nuna susah sekali dihubungi. Alasannya, Nuna tidak mempunyai hape. Letupan pertama konflik dibangun penulis melalui Rengga yang mengerjai Nuna untuk ketemu dan mentraktir makan dengan makanan mahal. Sejak itulah citra Rengga di mata Nuna sangat buruk

Pertengahan cerita, penulis menghadirkan pria dewasa. Selain atasan barunya Rengga, pria ini; Arfat, seorang kenalan dekat Nuna yang bagi Nuna sudah dianggap kakak. Siapa sangka pertemuan Nuna dengan Arfat melahirkan rasa sayang dihati Nuna. Maka terjadilah cinta segitiga antara Nuna, Rengga dan Arfat. Mengenai siapa yang akan dipilih Nuna, silakan baca sendiri keseruannya.

POV. Plot. Karakter. Opini.
Writer Vs Editor menggunakan sudut pandang orang ketiga. Pemilihan yang pas mengingat alur maju yang digunakan sangat mengalami perkembangan yang panjang. Hasilnya, saya butuh beberapa hari untuk bisa menyelesaikan novel ini. Padahal, untuk novel yang lain tidak selama itu. Kenapa saya bilang panjang perkembangannya karena mengolah interaksi Nuna dan Rengga tidak pas jika dipaksa dipersingkat karena efeknya chemistry keduanya akan terpenggal. Penulis mengambil resiko dengan membiarkan dua karakter itu mengalir adanya.

Nuna, di mata saya terkesan kampungan, polos dan saya tidak menangkap karater favorit pada diri Nuna sebagai tokoh sentral. Hanya gadis biasa aja yang beruntung dijatuhi cinta oleh dua pria bibit unggul (istilah Nuna dan temannya). Rengga, pria yang paling menonjol sifat pemikir dalam arti seneng banget menimbang banyak hal, hasilnya langkahnya selalu ketinggalan oleh yang lain (berlaku untuk urusan asmara). Ditambah saat masih menjadi pacar Marsya, Rengga ini kayak yang cinta mati. Meski diporotin banyak rupiah, hatinya masih memaklumi tabiat buruk pacarnya itu. Pria lainnya; Arfat, lebih terkesan sangat baik, mungkin terlalu baik sehingga citranya di mata saya, pria ini tidak ada celanya. Dia bisa sangat perhatian, sangat pengertian, sangat romantis, wajar saja jika Nuna tergila-gila dengan sosoknya. Arfat masuk kategori calon suami unggul. Dan di luar ketiga tokoh utama, saya sempat menyoroti karakter Radit. Orangnya ramai, pengubah mood, dan lucu. Dia statusnya sudah menikah. Kalau saya berandai-andai (semoga postingan ini dibaca penulisnya), saya berharap besar sosok Radit bisa dituliskan dalam satu judul novel. Kisahnya soal rumah tangganya. Cerita yang unik bukan, jika memaparkan keseharian dan konflik dari orang yang unik pula? Semoga-semoga.

Keseluruhan, saya menyukai novel ini dari segi cerita. Kalau gaya menulisnya, hemm, karena ini pertama kali diterbitkan tahun 2011, saya sudah sadar pemilihan kata dalam kalimatnya bagi saya sedikit kaku. Imbasnya, saya harus ekstra sabar menamatkan hingga halaman terakhir.

Adegan favorit.
Pertama, muncul di halaman 136. Pasca Rengga mabuk dan diantar Nuna ke rumahnya kemudian terjadi kecelakaan ciuman, Rengga kembali menemui Nuna untuk mengambil dompetnya. Dompet tersebut ada di kosannya Nuna sehingga Rengga pun mengantarkan Nuna pulang. Yang menarik, penulis mendeskripsikan adegan kecanggungan Nuna dan Rengga di dalam mobil, dengan sangat terasa. Pokoknya bikin geli sendiri pas saya baca bagian itu.

Kedua, ada di halaman 238 sampai 241. Nuna memutuskan menghindari Rengga demi menjaga perasaannya  kepada Arfat. Dan setelah Nuna menghadiri acara promo novelnya, ia terjebak hujan. Rengga yang sedang ada di mall yang sama menawarkan diri mengantar pulang. Nuna bersikeras menolak tawaran Rengga. Kemudian adegan ala sinetron terjadi. Namun bagi saya adegan itu sangat manis. Nuna hampir tertabrak mobil boks. Rengga menyelamatkannya hingga membuat tangannya terluka berdarah.

"Bukan seperti ini caranya menghindari saya," Rengga kembali berkata keras pada Nuna, "Dengan seperti ini, kamu malah membuat saya tidak bisa lepas dari kamu, membuat saya tidak bisa tidak memperhatikan kamu. Dan itu buruk untuk saya. Untuk saya yang mencintai kamu..." Writer Vs Editor, 240.

Petik-petik.
Pertama, kejarlah impian yang menjadi panggilan hati. Jika takdir harus membuat kita berputar-putar lebih dulu, jangan sampai padam semangat itu. Kita tidak pernah tahu besok dan lusa ada keajaiban apa.

Kedua, biasakan untuk mendengarkan kata hati ketika dihadapkan pada pilihan. Biasanya, kata hati selalu menunjukkan pada hal yang seharusnya. Dan cobalah barengi dengan  ketegasan dalam memilih. Sebab pilihan yang sudah dipilih, biasanya tidak akan datang kedua kali.

Petikan.
"Cinta tidak ada artinya, kalau untuk mendapatkannya kita menyakiti orang yang kita sayangi..." Writer Vs Editor, 292.

Final. Rating.
Novel ini bisa membuat pembaca baper. Namun percayalah, baper-nya tidak lama sebab dijelaskan solusinya. Karena tingkat baper-nya menyentuh hati, saya memberi rating 3.5 dari 5.

Lain-lain.
Beberapa kali saya mendapati dua kata yang sampai saya menamatkan novel ini, masih belum tahu maknanya; dead air. Entahlah...

Jawab ya!
Pernah punya pasangan yang suka morotin? Atau jangan-jangan kamu yang suka morotin, hehehe.


gambar diambil kamera Samsung Galaxy ACE4.*

4 komentar:

  1. wah romansa di kehidupan seorang penulis dan atasannya yakni editor ya, kayaknya lain dari kebanyakan tema yang sudah biasa ya.
    kuteba pesti pilihannya selalu yang tadinya kesel jadi seneng , gitu ga ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mbak. hanya ada proses tarik ulur sehingga kisahnya masih memikat diikuti...

      Hapus
  2. Sayang banget kalo nggak nyeritain gimana perjuangannya lawan deadline, nentuin ide atau tema, de el el. Soalnya dari judul udah bawa-bawa writer dan editor.

    Malah lebih ke kisah cinta, ya. :D

    Pernah punya dulu zaman masih SMK. Jajan gue buat nraktir dia melulu. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaha.. novel ini minus disitu.

      kok bisa mau maunya km traktirin itu temen / pacar?

      Hapus