[Buku] Kota Kertas, John Green


Judul asli : Paper Town
Judul : Kota Kertas
Penulis : John Green
Alhi bahasa : Angelic Zaizai
Desain sampul : Martin Dima
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : September 2014
Tebal buku : 360 halaman
ISBN : 9786020308586
Harga : Rp64.000 


Ketika usia mereka sembilan tahunan, Quentin dan Margo menemukan mayat Mr. Robert Joyner yang bersandar di bawah pohon. Diketahui Mr. Joyner melakukan bunuh diri dengan cara menembak dirinya. Peristiwa melihat mayat itu memunculkan kenangan bagi Quentin dan Margo yang tidak bisa dilupakan.

Masa remaja, Quentin dan Margo yang bertetangga dan berteman sejak kecil, menghabiskan hari-hari dengan cara masing-masing. Hubungan mereka layaknya teman biasa. Tanpa diketahui Margo, Quentin ternyata menyukai sosoknya.

Lalu pada suatu tengah malam ketika mereka sudah remaja, Margo memaksa Quentin untuk jadi supirnya dan melakukan banyak pembalasan kepada mantan pacarnya yang selingkuh dengan teman Margo sendiri, dan beberapa teman lainnya yang menyebalkan. Sebuah pengalaman menarik bagi Quentin yang selama ini dirinya dikenal sebagai remaja yang aman-aman saja dan baik. Quentin tidak pernah menduga jika malam itu menjadi malam terakhir ia melihat Margo. Margo menghilang. Ini bukan yang pertama, melainkan ia sering melakukan kabur dari rumah dan tentu saja Margo akan meninggalkan petunjuk.

Awalnya Quentin menganggap kepergian Margo sebagai hal biasa. Tetapi, petunjuk berupa buku puisi Leaves of Grass memunculkan bayangan buruk tentang Margo. Mungkin saja Margo akan bunuh diri.  Quentin bergerak memecahkan petunjuk yang ditinggalkan Margo demi bisa menemukannya. Tapi, berhasilkah Quentin memecahkan petunjuk yang ditinggalkan Margo dan menemukannya?



Saya bangga bisa membaca buku Kota kertas – John Green. Buku yang menampilkan karakter remaja, otomatis masuk genre teenlit, tapi buku ini memiliki kisah yang cakupannya sangat luas. Teenlit yang biasanya diwarnai dengan roman, persahabatan, dan perjuangan meraih cita-cita, di buku Kota Kertas ini akan kita temukan bahan-bahan renungan khas remaja. Saya akan mencoba mengurai apa saja bagian menarik dan berbeda dari buku Kota Kertas – John Green ini.

Barangkali itu sebuah cacat karakter, tapi bagiku itu sudah bawaan sejak lahir (hal. 339). Dua kata yang menarik, berbicara mengenai cacat karakter. Tidak semua remaja akan mengakui kalau dirinya mungkin cacat karakter. Tapi saya berpikir, bisa saja itu terjadi, dengan banyak sebab, salah satunya trauma/memori masa kecil. Pada buku ini, Green menggambarkan cacat karakter menimpa Quentin dan Margo. Ini pendapat saja, bisa jadi tidak demikian. Sebab alur cerita sampai halaman terakhir, masih memiliki kaitan dengan pengalaman penemuan mayat Mr. Joyner ketika mereka masih kanak-kanak. Justru pengalaman itu memberikan efek sangat besar bagi Margo, dan akhirnya ia tumbuh dengan berbeda dibandingkan Quentin.

Membicarakan karakter sebenarnya rumit. Tapi masih bisa ditelusuri dan dibaca. Margo tumbuh menjadi gadis muda, konyol, dan tak terbatas. Saya kira karakter itu dibentuk dari keluarga dan lingkungan. Ada pernyataan jika orang tua Margo mendidik dengan kepedulian yang kurang. Sehingga diterangkan juga dibukunya, Margo mencari perhatian orang tuanya, lebih luas lagi orang di sekitarnya. Sayangnya, Margo memilih cara yang mengejutkan, meninggalkan rumah dan berpetualang tanpa memberi tahu siapa pun.

Apakah kamu pernah merasa bosan dengan hal yang itu-itu saja atau dengan rutinitas harian? 

Buku ini menjawab pertanyaan barusan. Saya lumayan tertohok dengan jawabannya sebab saya persis seperti karakter Quentin yang baik dan aman-aman saja. Green dengan lantang memberitahukan untuk kamu yang merasa hidupnya terlalu datar, untuk segera melakukan hal seru. Saya ikut terbawa merasa seru membaca bagian ketika Margo mengajak Quentin melakukan pembalasan. Quentin yang tipe remaja zona nyaman, absen sekolah saja dihindarinya, kemudian harus mencoba hal seru yang membuat paru-paru dan jantungnya berpacu lebih keras, mengisyaratkan kepada pembaca untuk ikut serta melakukan hal seru. Karena ada rasa bahagia dan pengalaman yang menarik di situ. Saya diingatkan dengan pertanyaan, ‘Kapan terakhir kali adrenalin kamu membuncah dengan dasyat?’. Sejak selesai membaca buku ini, saya jadi ingin mengejar hal seru yang membuat adrenalin meningkat. Tidak takut, tidak malu, maju saja, dan rasakan bahagia.


Saya tahu buku Kota Kertas – John Green sudah difilmkan dan saya sudah melihat. Pada filmnya, saya sangat suka dengan bagian perjalanan panjang Quentin, Ben, Radar, dan Lacey. Bepergian, aku mendapati, mengajari kita banyak hal mengenai diri sendiri (hal.299). Ada banyak kejadian yang terjadi selama perjalanan itu dan merubah kejiwaan, pola pikir, pandangan, dari mereka. Sebuah pemahaman baru yang didapat dari perjalanan. Di bukunya, ada pernyataan berikut; Orang jadi berbeda ketika kau bisa mencium aroma mereka dan melihat mereka dari dekat, tahu kan? (hal.306). Green membuka pikiran pembaca untuk mengetahui dalam hidup ini kita kerap mendapati pandangan/penilaian terhadap seseorang yang berbeda ketika orang tersebut berada atau tidak berada dekat dengan kita. Misal, Ben menyukai Lacey karena cantik dan seru diajak nongkrong. Pendapat ini berlaku ketika Ben mengenal Lacey di kesempatan kebersamaan yang terbatas. Tapi pada perjalanan panjang itu, berbelas jam Ben berada di dekat Lacey, ia akhirnya sadar Lacey tidak seistimewa yang ia pikirkan sebelumnya. Lacey ternyata sosok yang suka makan dan rewel. Pengajaran baru, untuk memahami seseorang ternyata dibutuhkan kedekatan yang lama.

Di perjalanan panjang itu, saya juga menemukan satu bagian mengharukan. Quentin yang sudah menyetir lama terlena dengan jalan tol. Sampai pada satu titik, ia melihat sapi yang melintas di jalan. Ia panik harus bertindak apa untuk menghindari tabrakan. Di tengah keputusasaan dan rasa panik, Ben yang berada di samping Quentin mengambil alih setir dan membanting mobil ke sisi jalan. Setelah kejadian itu, Quentin melihat apa yang dilakukan Ben berarti besar. Ben bertindak tepat dan benar sebagai teman sekaligus sahabat. Quentin dan Ben yang kerap bertengkar, di mata saya menjadi dua sahabat yang jadi dirinya sendiri dan tahu kapan bertindak sebagai sahabat baik.

Masih banyak cerita seru dan membawa hal positif di buku ini. Dan saya tidak mungkin berceloteh panjang lebar. Saya perlu mengingatkan satu hal, waktu adalah hal berharga yang tidak bisa diganti jika sudah terlewat. Jadi, nikmatilah waktu kita dengan bahagia dan hal-hal seru baik lainnya. 


  • Menurutku konyol orang hanya mau berada di dekat seseorang karena mereka cantik. Mirip dengan memilih sereal sarapan berdasarkan warna bukan rasanya. [hal.48]
  • Ketika mengatakan hal-hal buruk tentang seseorang , kita sebaiknya tak pernah mengatakan yang sebenarnya, karena kita takkan bisa dengan sungguh-sungguh dan jujur menarik ucapan itu kembali, tahu kan? [hal.56]
  • Tapi kalau kau sudah lebih tua, kau akan mulai bisa melihat mereka – anak nakal dan anak baik dan semua anak – sebagai orang. Mereka hanya manusia, yang pantas dipedulikan. Dengan berbagai derajat sakit, berbagai derajat neurosis, berbagai derajat aktualisasi diri. [hal.227]
  • Semakin aku menyadari bahwa manusia kekurangan cermin yang bagus. Sangat sulit bagi siapa pun untuk menunjukkan kepada kita bagaimana penampilan kita, dan sangat susah bagi kita untuk menunjukkan kepada siapa pun apa yang kita rasakan. [hal.228]
  • Kepergian terasa menyenangkan dan murni hanya ketika kita meninggalkan sesuatu yang penting. [268]
  • Bepergian, aku mendapati, mengajari kita banyak hal mengenai diri sendiri. [hal.299]
  • Orang jadi berbeda ketika kau bisa mencium aroma mereka dan melihat mereka dari dekat, tahu kan? [hal.306]
  • Selamanya tersusun dari masa kini-masa kini. [hal.340]
  • Membayangkan memang tak sempurna. Kita tidak mungkin bisa memahami orang lain sepenuhnya. [hal.344]

2 komentar:

  1. Tampaknya saya pun tipe remaja (?) seperti Quentin, yang lebih suka berada di dalam gelembung ketimbang mesti keluar di dalamnya. Atau semua pembaca buku seperti itu? Tidak saya, rasa. *lah dijawab sendiri XD*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya, apakah pembaca buku itu lebih memilih menghidupkan hidupnya lewat karakter-karakter yang dibacanya? Semoga saya tdak separah itu, hehe :)

      Hapus