[Buku] Rumah Kertas, Carlos Maria Dominguez


Judul : Rumah Kertas
Penulis : Carlos Maria Dominguez
Penerjemah : Ronny Agustinus
Ilustrasi : Melia P. Khoo
Penerbit : Marjin Kiri Publisher
Terbit : Oktober 2016, cetakan kedua
Tebal buku : vi + 76 halaman
ISBN : 9789791260626
Harga : Rp29.700 

Tahun 1998, dosen Universitas Cambridge bernama Bluma Lennon tertabrak mobil ketika dirinya sedang membaca buku lawas Poems karya Emily Dickinson. ‘Aku’ sebagai kolega Bluma menggantikan mengajar mata kuliahnya. Pada suatu pagi datang paket buku dengan perangko Uruguay yang ditujukan ke Bluma. Aneh, buku terjemahan Spanyol karya Joseph Conrad memiliki kerak semen Portland. Karena Bluma sudah meninggal, Aku berencana mengembalikan buku itu ke si pengirim sekalian megabarkan soal ajal Bluma. Berdasarkan kalimat persembahan yang tertulis di halaman depan buku, Aku pun mencari identitas si pengirim dan didapatilah pengirim tersebut yang bernama Carlos Brauer.

Aku kemudian terbang ke Uruguay untuk mencari jejak Carlos dari informasi Jorge Dinarli dan Agustin Delgado. Dua orang ini terbilang mengenal siapa sosok Carlos. Perjalanan ini mengupas misteri buku Joseph Conrad yang berkerak semen dan kisah hidup salah satu bibliofil, Carlos Brauer.

Judul buku Rumah Kertas merujuk pada kegilaan bibliofil yang menjadikan buku-buku koleksinya menjadi rumah. Ada alasan kenapa Carlos sampai melakukan hal itu, dan cuek pada pandangan orang tentang yang dilakukannya. Saya menyebutnya sebagai kegilaan sebab tidak pernah terlintas pikiran tersebut, bahkan akan terlintas pun tidak.

Buku tipis ini, tidak lebih dari 100 halaman, membuka banyak dimensi dunia manusia-manusia yang mengagungkan buku. Manusia pecinta buku terbagi menjadi dua golongan (hal.17), sesuai penjelasan Jorge Dinarli. Pertama, kolektor buku. Golongan ini pengumpul buku yang nekad tanpa mengindahkan seberapa banyak uang yang harus dikorbankan mendapatkannya. Kadang buku-buku tersebut hanya dipegang dan dilihat tanpa tahu kapan akan terbaca kemudian masuk jajaran di rak. Golongan kedua adalah kutu buku. Mereka yang rakus membaca dan memutuskan untuk membangun perpustakaan pribadi yang isinya buku yang kelar dibacanya.

Selain itu, kita akan memperoleh satu pernyataan yang kontoversial. Pernyataan Profesor Robert Laurel pada pidato kematian Bluma yang menyatakan, “Bluma membaktikan hidupnya pada sastra, tanpa pernah membayangkan bahwa sastralah yang akan merenggutnya dari dunia ini.” (hal. 2) Pernyataan ini yang membuat saya pun berpikir sejenak. Mungkin maksud profesor, sastra menjadi salah satu sebab atas kematian itu. Bluma memang sedang membaca buku dan itu mengalihkan fokus dirinya pada lingkungan sekitar sehingga kecelakaan itu tak terhindarkan. Kalau seandainya Bluma tidak membaca, kecelakaan itu mungkin bisa dihindari. Sehingga wajar jika kematiannya ketika diberitakan media akan berbunyi sesuai pernyataan profesor. Dan dicontohkan pula beberapa kejadian kecelakan atau nasib naas yang sebabnya keberadaan buku.

Dimensi lain yang diceritakan mengenai kelakukan para pecinta buku jika berkunjung ke perpustakaan temannya. Bukan rahasia, mereka menggunakan trik memperlama membuat teh di dapur, untuk memberikan waktu yang cukup bagi tamu mengagumi koleksi buku yang terpajang di rak. Saya menangkap makna kelakuan itu untuk menyuguhkan kepuasan. Kepuasan si penerima tamu adalah binar mata kagum yang dipancarkan tamu setelah menelusuri jejeran koleksi bukunya. Sementara kepuasan lainnya dirasakan si tamu yang mencoba membanding-bandingkan koleksinya dengan koleksi tuan rumah. Keuntungan yang didapat, jika ada buku yang tidak dipunya kemudian si tuan rumah punya, mereka bisa saling pinjam-meminjam.

Perlu diketahui ada perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain dalam proses membaca buku. Delgado lebih suka membaca buku dengan membawa catatan. Ia akan mencatat apa pun pendapatnya di kertas catatan itu. Berbeda dengan Delgado, Carlos lebih suka menuliskan pikirannya di buku tersebut pada area marjin. Perbedaan ini menjadi ragam kebiasaan pecinta buku. Dan masing-masing memiliki penilaian terhadap kebiasaan itu. “Saya menyebutnya tak peka, dan dia menyebut saya sok suci, meski jelas tak satu pun dari kami tersinggung gara-gara ini.” (hal. 32).

Buku ini mengulas kehidupan Carlos Braurer dan mengesankan Carlos menjadi tokoh utama. Tetapi, cerita berjalan berkat perjalanan si Aku yang mencari sosok Carlos. Saya tidak paham posisi Carlos ini pada akhirnya sebagai apa, sebagai tokoh utama lainnya atau tokoh figuran. Dan jika Aku menjadi tokoh utama, kondisinya si Aku ini kalah oleh dominasi Carlos. Entah hal seperti ini penyebutannya bagaimana. Mohon dimaklum pengetahuan saya mengenai penilaian sastra masih minim.

Pada buku ini juga memiliki banyak informasi buku yang saya tidak tahu. Kebanyakan buku klasik Amerika Latin. Saya mencoba satu kali mencari buku Irish Fairy and Folk Tales, dan hasilnya bingung buku yang dimaksud adalah buku yang mana. Sebab hasil pencarian berujung di salah satu toko buku online internasioanl yang menampakkan buku-buku serupa. Dan membayangkan kalau saya menurutkan proses membaca Delgado, membaca buku dengan disertai membaca buku rujukan lainnya (hal.27), bahkan bisa menyeret hingga dua puluh buku rujukan, saya akan menyerah di awal. Proses ini ibarat memahami buku dengan memahami dari akar hingga pucuknya.

Dan saya perlu mengakui pengaruh buku ini kepada saya tidak sehebat yang saya sangkakan ketika membaca ulasan blogger dan pembaca yang lain. Jalan ceritanya jelas, pencarian sosok Carlos. Saya menikmati perjalanan itu, tetapi belum memberikan kesan berarti sebab jalan ceritanya berkutat pada pencarian tanpa menghadapi banyak hal. Bagi saya ada kesan jalan ceritanya datar. Kecuali kisah Carlos yang hingga mengalami kegilaan dengan menjadikan buku-buku koleksinya menjadi bahan membangun rumah, cukup seru disimak. Itu pun akan saya apresiasi lebih seandainya Carlos yang bercerita, bukan si Aku yang mendapatkan kisah Carlos dari orang lain. Ini mengenai selera saya, yang berharap mengenal Carlos secara langsung.

Dan menurut saya diksi terjemahan buku ini rada sulit buat saya nikmati. Kalimatnya memiliki struktur yang sedikit kaku sehingga kadang saya harus benar-benar pas memenggal kalimat ketika membaca agar maknanya tepat. Proses membaca buku yang tipis ini akhirnya memerlukan waktu yang sama dengan novel yang jumlah halamannya lebih dari 200 halaman.

Nilai yang kemudian saya dapatkan setelah membaca buku Rumah Kertas adalah kewaspadaan diri menghadapi pesona buku. Biar pun buku adalah sumber pengetahuan, kegilaan pada buku justru menenggelamkan. Saya menyukai kegiatan membaca buku tapi saya tidak mau buku mengendalikan kehidupan saya dari segi apa pun. Misalnya, menyulap kosan saya yang kecil menjadi penuh dengan buku-buku, seperti yang dilakukan Carlos pada rumahnya.

Saya juga menjaga diri dari menyukai buku secara berlebihan. Saya tidak ingin memunculkan rasa galau gara-gara kecintaan terhadap benda. Buku bisa saja rusak, buku bisa saja hilang, dan kejadian itu tidak boleh menjadi gelisah bagi saya akibat rasa memiliki yang melewati batas. Buku ini mengingatkan kita untuk memiliki batas yang jelas rasa kepemilikan.


2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Kadar menimbun para penulis di buku ini sungguh luar biasa ya, kecintaan yang sangat berlebihan kepada buku. Tetapi, kalau nggak begini, belum tentu kisah mereka bisa dituliskan dalam buku indah seperti buku ini bukan?

    BalasHapus