[Resensi] Jula-Juli Cinta Mini - Budi Maryono

Judul: Jula-Juli Cinta Mini
Penulis: Budi Maryono
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 2017
Tebal buku: 200 halaman
ISBN: 9786020353395
Harga: Rp55.000 (via bukabuku.com sebelum diskon)

Sepulang dari Hongkong menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Sri Padmini menyadari suaminya berubah tidak seperti saat ia tinggalkan dahulu. Empat tahun Kardi ditinggalkan mengurus rumah dan kedua anak mereka, Imin dan Atik, Mini tetap yakin kalau suaminya tidak akan macam-macam. Namun, bara gairah Kardi lenyap. Mini menduga-duga penyebabnya. Rukhin, tetangga sekaligus sahabatnya, menyembunyikan alasan ketika ditanya sesuatu yang merubah Kardi. Mini sangat terluka. Dia bingung memutuskan antara melanjutkan pernikahannya yang berubah jadi dingin atau melepaskan keluarganya dan kembali berangkat ke Hongkong.

Maryono mengemas cerita drama rumah tangga dengan apik. Dia juga pintar menyembunyikan asal masalah sehingga kita tidak akan berhenti membaca saking penasaran. Di buku ini bagian yang bikin penasaran adalah siapa sosok yang merubah Kardi hingga ia enggan menyentuh tubuh istrinya. Dan jika sudah terkuak pelakunya, kita juga masih akan penasaran dengan keputusan Mini atas nasib keluarganya. Menjelang terkuaknya identitas si pelaku, Maryono menyebar pengalih perhatian hingga tebakan pembaca akan mengarah ke orang yang salah. Awalnya saya menebak ada hubungan terlarang antara Kardi dan Rukhin namun nyatanya saya keliru.

Drama novel Jula-Juli Cinta Mini semakin pekat sebab pasangan Mini-Kardi sudah punya dua anak; Imin dan Atik. Keberadaan anak menjadi penentu keputusan besar Mini. Dia sebagai perempuan menimbang posisinya juga sebagai istri dan ibu. Dan yang paling berat tentu saja perannya sebagai ibu yang tidak bisa menelantarkan darah dagingnya sendiri.

Nilai budaya pun sangat terasa di novel ini melalui petikan Jula-Juli dan pementasan ludruk. Jula-juli adalah parikan (pantun kilat) khas Jawa Timur. Isinya penuh pesan moral. Wong bebojoan ngono / gak kanggo sedino rong dino / mulo usahakno dadi sampek tuwo / ayok sing rukun koyok mimi lan mintuno / supoyo diconto barek anak putu kito…. Ludruk pun disinggung beberapa kali di novel ini dan disebutkan beberapa lakonnya; Pak Sakera, Sawunggaling, Joko Kelud dan Sarip. Kedua nilai budaya tadi sangat berbaur dengan ceritanya. Jula-Juli menjadi pengingat tokohnya akan drama yang muncul dan Ludruk menjadi objek peristiwa yang mengawali segala konflik drama yang ada.

Selain budaya, novel ini pun menuturkan kehidupan TKI. Bukan sekadar kehidupan mereka di tempat kerja, melainkan kehidupan orang terdekat mereka di kampung. Peristiwa istri jadi TKI bisa jadi penyebab suami selingkuh. Pandangan ini ditengahi oleh Maryono dengan tidak menghakimi mana yang benar dan yang salah. Maryono justru memposisikan sebagai penyaji saja. Juga ketika dia menggambarkan kerinduan anak yang ditinggal pergi ibunya ke luar negeri diwakili Imin, Maryono berperan hanya menceritakan tanpa ada kesan mengatakan salah atau benar.
Lebih gila lagi, novel ini menyentuh ranah LGBT. Selipan konflik yang justru membuka mata saya akan posisi orang-orang yang LGBT. Sumpah, saya begidik membayangkan jika sampai bersentuhan terlalu dalam dengan mereka. 
Akhirnya, novel Jula-Juli Cinta Mini saya hargai dengan nilai 5/5. Dramanya begitu dekat dengan kehidupan kita. Dengan membaca ini, kita akan mendapatkan rasa kehidupan yang baru, lebih dramatis, lebih getir, lebih beda, dan belajar hal lain dari yang biasa kita jalani.

2 komentar:

  1. Terimakasih atas resensi Jula-juli Cinta Mini ini...Salam...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama Pak Budi Maryono. Senang penulisnya mampir di blog saya ini. Hehe

      Hapus