[Resensi] Mata di Tanah Melus - Okky Madasari


Judul: Mata di Tanah Melus
Penulis: Okky Madasari
Editor: Anastasia Mustika W.
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Tebal buku: 192 halaman
ISBN: 9786020381329
Harga: Rp59.000 (via bukabuku.com - sebelum diskon)

Saya pernah membaca buku karya Okky Madasari yang judulnya '86'. Novel dengan konflik suap yang sudah membudaya di Indonesia dari masyarakat ekonomi rendah hingga masyarakat ekonomi atas. Tema novelnya terbilang serius karena hanya segelintir penulis yang mau mengangkat tema kritik sosial dalam karyanya dan konsisten di zona itu. Namun, untuk karya terbaru Okky di tahun 2018 ini, ia seperti sudah melakukan manuver dengan menghadirkan karya bergenre novel anak. Genre yang belum pernah ia jamah dan ini seperti jadi tantangan untuk Okky dan pembaca. Saya sebagai pembaca tertantang untuk menikmati cerita anak yang memang sebelumnya penulis tak menyentuh sisi ini di novel-novel sebelumnya. Yang pasti, novel sebelumnya dan novel anak ini akan memiliki perbedaan yang mencolok. Dan menurut keterangan di bagian penulis pada halaman akhir buku, Mata di Tanah Melus merupakan cerita pertama dari serial petualangan anak yang Okky bikin.

Novel Mata di Tanah Melus menceritakan tentang Matara, anak berusia dua belas tahun, yang ikut melakukan perjalanan ke daerah Belu bersama Mamanya setelah hubungan antara Mama dan Papanya tidak harmonis. Persoalan utama suami-istri itu perihal keuangan. Keduanya adalah penulis cerita, hanya berbeda format. Mama menulis novel, sedangkan Papanya menulis kolom politik di koran. Keharmonisan keluarga Mata surut saat Papa sudah tidak bekerja dan Mama sadar keluarganya tak bisa mengandalkan keuangan dirinya yang bukan tipe penghasilan bulanan.

Mata sebenarnya merasa tidak antusias dengan perjalanan kali ini. Apalagi tujuan mereka daerah asing yang jelas-jelas tidak bisa diduga keadaannya. Dimulai dari kejadian mobil sewaan Mama menabrak sapi dan harus ganti rugi dua puluh juta, kesialan tidak berhenti menimpa mereka. Ditambah mimpi sapi-sapi tersebut mengganggu di tidur Mata.

Suatu waktu Mama dan Mata berteduh saat hujan deras setelah mereka melakukan upacara izin masuk daerah Belu dan mereka justru diminta pulang ke tempat asal. Begitu membuka mata, Mata mendapati pemandangan padang rumput hijau yang luas dan sejak itu Mata dinyatakan tersesat. Petualangan Mata dimulai dari kampung Melus. Keinginan untuk bertemu Mama menjadi tujuan Mata melakukan banyak petualangan.

Sebuah terobosan baru bagi Okky yang kerap mengulik tema-tema kritik sosial dan memilih menyajikan cerita anak yang dibumbui hal-hal ajaib. Keinginan Okky terpenuhi dan novel Mata di Tanah Melus memang pas untuk dibaca oleh anak-anak. Kita akan disuguhi perpaduan kisah yang sederhana, petualangan, mitos, dan perseteruan antara dua golongan orang.

Untuk memahami kisah Mata, kita perlu menguatkan pikiran jika di buku ini Okky bermain dengan dua dunia yang sifatnya paralel. Dunia nyatanya adalah daerah Belu, sedangkan dunia paralelnya adalah Negeri Melus. Ini penting agar kita tidak repot memahami jalan cerita yang pada awal-awal buku akan bikin syok.

Lalu, bumbu ajaib yang saya katakan di awal, menjadi nostalgia buat pembaca akan khayalan aneh-aneh yang sering dibayangkan pada masa anak-anak. Kita pasti pernah melihat awan yang bentuknya mirip banyak benda. Di novel ini pun Mata melihat kelinci-kelinci dan anak perempuan yang meloncat-loncat riang di awan.Selain itu, kita akan berkenalan dengan mahluk-mahluk ajaib seperti Ratu Kupu-Kupu, Dewa Buaya, dan Laka Lorak si Ibu Kehidupan.

Latar tempat juga dipenuhi hal-hal menakjubkan misal padang rumput hijau luas yang disebut Fulan Fehan, Kerajaan Kupu-Kupu, rumah kaktus, lautan yang muncul dan surut tiba-tiba, hutan kaktus yang lebat, dan masih banyak imajinasi-imajinasi lainnya yang akan membuat otak kita ikut memproyeksikan seperti apa Negeri Melus itu.

Pada novel ini ternyata Okky menyelipkan kritik sosial terhadap dua kegiatan yang mengundang banyak efek negatif, yaitu perburuan binatang tertentu (di novel ini binatangnya adalah buaya) dan eksploitasi sumber daya alam (Gunung Lakaan) yang tujuannya memperkaya diri sendiri atau golongan. Kita diingatkan kembali jika kegiatan tersebut merusak banyak tatanan kehidupan yang seharusnya kita jaga untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Akhirnya, saya memberi nilai 3 dari 5 sebab saya masih merasa novel ini belum terasa khas anak-anak dalam penyajiannya. Baik secara kosakata, diksi, ataupun petualangannya. Atau, disebabkan oleh konflik orangtua yang terlalu vokal karena dimunculkan di awal dan otomatis menyedot daya tarik pembaca sebelum tahu cerita ajaibnya sebenarnya akan digiring ke arah mana.

0 komentar:

Posting Komentar