[Resensi] Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa - Prisca Primasari

Judul buku: Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa
Penulis: Prisca Primasari
Editor: eNHa
Proofreader: Gita Romadhona
Penata letak: Wahyu Suwarni
Desain sampul: Dwi Annisa Anindhika
Penerbit: GagasMedia
Cetakan: Pertama, 2012
Tebal buku: viii + 292 halaman
ISBN: 9797805891
Harga: Rp45.000 

Seorang perempuan 28 tahun bernama Florence, kabur dari rumah karena akan dijodohkan oleh orang tuanya dengan sorang pria yang belum dia temui. Tujuannya meninggalkan Paris menuju Honflour. Selama lari tasnya rusak. Dan setelah naik kereta, seorang pemuda ijin duduk di sebelahnya. Florence mengintip tas kertas si pemuda yang berisi tas. Setelah basa-basi, tas itu pun diberikan kepada Florence dengan sedikit rasa tidak enak sebab ia tahu tas itu akan diberikan kepada seorang wanita.

Si pemuda yang belakang diketahui bernama Vinter, kelihatan bingung karena seniman yang akan ia bawa kepada temannya membatalkan tampil. Sebagai balas budi, Florence setuju menggantikan. Di rumah Zima, teman Vinter, Florence berhasil menampilkan membuat lukisan, membaca puisi, bernyanyi sambil main piano. Pada kesempatan drama akhirnya Florence gagal sebab ia sendirian. Keluar dari rumah Zima, mereka harus berpisah.

Benarkah mereka akan terpisah sedangkan Florence merasa tidak ingin berpisah dengan Vinter?


Kisah Kastil Es & Air Mancur Yang Berdansa sangat terasa romantis. Penulis menggiring kedua tokoh untuk terus berhubungan dengan cara mereka merasa saling membutuhkan. Ada sedikit salah paham di antara keduanya,tapi  itu hanya pemanis saja dan bukan satu babak yang menjadikan cerita ini memiliki klimaks. Justru saya bingung klimaksnya dimana. Sebab tidak ada bagian cerita yang tiba-tiba nilai serunya tinggi. Yang saya tangkap hanya berupa letupan yang penulis sebar di beberapa bagian. Contohnya, ketika Zima meninggal karena sakit kanker, atau ketika Florence menceritakan asmaranya dengan Jean kandas setelah ia memberikan segalanya. Bagian-bagian itu yang membuat saya terharu.

Kisah di novel ini juga dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama menceritakan masa pelarian Florence di daerah Honflour. Bagian kedua menceritakan satu bulan setelah kejadian di Honflour dan berlatar di Paris. Bagian ketiga menceritakan sosok Vinter mulai dari masa lalu hingga ia bertemu dengan Florence di kereta. Jadi, pembagian cerita seperti ini membuat semua sudut antara kedua tokoh terceritakan utuh.

Sebenarnya, di novel ini ada yang tidak saya sukai yaitu penulis terlalu banyak memberikan informasi seni; seni lukis, seni drama dan seni musik. Judul lagu, lukisan, drama, ditambah penciptanya, semua itu tidak membuat saya kenal dengan karya seni itu. Terus terang saya pun tidak merasa harus mencari tahu karena seni di negara itu tetap akan asing buat saya. Ini berlaku untuk semua novel yang saya baca. Saya akan menyebutnya sebagai pemaksaan memberikan pengetahuan, apalagi sejarah seni, yang sebenarnya bagi si pembaca tidak ada gunanya.  Itu catatan bagi saya, walau pun saya memang tidak punya hak untuk protes terhadap penulis. Tapi harus diketahui efeknya, saya akan membaca informasi itu sebagai rangkaian kalimat saja.

Sebagai pengalaman pertama saya membaca karya Prisca Primasari, saya jatuh cinta dengan gaya berceritanya yang ringan. Kalimat yang disusunnya sederhana dan lugas. Tidak saya temukan kalimat yang puitis. Dan untuk kalimat dialog, penulis membuat strukturnya seperti dialog orang berbicara pada kenyataannya. Saya mengukur keberhasilan penulis dalam bercerita dari waktu yang saya butuhkan untuk menyelesaikan membaca novel ini; 1 hari.

Tokoh utama novel ini adalah Florence dan Vinter. Florence itu gadis multitalenta dalam seni, pemberani, dan ekspresif. Sedangkan si Vinter ini condong ke sosok penyendiri, dewasa, dan rapuh karena suka menyalahkan diri sendiri untuk musibah masa lalu. Tokoh figuran yang muncul ada Zima, Celine, Didier Leroy (papa Florence), Yvonne Leroy (mamam Florence), Annalies dan masih ada beberapa lainnya yang perannya tidak lebih besar dari yang saya sebutkan.

Penokohannya sendiri sangat kuat. Florence yang ekspresif dibuktikan dengan gampangnya bagi dia untuk mengungkapkan rasa suka sama Vinter dan ketidakinginannya berpisah. Untuk Vinter, sifat menyendirinya sangat terasa. Apalagi dikatakan jika setelah musibah yang menimpa adik kembarnya, Vinter kerap melukai diri untuk mengalihkan rasa sakit perasaan dalam bentuk menyayat tangan. Di tambah, profesi Vinter sebagai pemahat es, membuat Vinter ini makin terasa dingin.

Kalau menilai kover bukunya, ini terlalu feminim. Sudah warna backround-nya biru telur asin yang lembut, ada juga bunga-bunga di bagian pojok, dan gambar bola kaca yang berisi entah bangunan apa. Masih menyambung dengan cerita di dalamnya, mungkin masalahnya karena saya pembaca pria sehingga sedikit malu kalau harus membawanya ke tempat umum.

Pesan yang paling tersirat dalam cerita Florence dan Vinter adalah untuk menjadi lebih baik dengan berdamai dengan masa lalu, menyayangi diri sendiri, dan tentu saja menyayangi sesama. Disinggung sekilas, jika kita akan lebih bahagia ketika kita bisa memberi lebih banyak kepada yang lain.

Rating dari saya: 3/5


Catatan:
  • “Kereta seindah apapun tidaklah berguna bila tidak mempunyai kuda yang menariknya. Lama-lama akan terbengkalai dan terpendam salju. Sama halnya dengan manusia, yang tidak akan bertahan lama bila tidak ada yang mendukung atau mendampinginya; betapapun hebatnya, mereka pasti akan terlupakan.” [hal. 41]
  • Tentu saja karena saat itu aku bodoh... perasaan tergila-gila selalu membuatmu bodoh. [hal. 89]
  • Ada hal-hal yang semakin mustahil diraih ketika dia malah amat mengharapkannya. [hal. 186]
  • “Masa lalu tidaklah penting. Orang yang punya masa lalu buruk belum tentu akan menjadi pribadi yang buruk juga. Semua tergantung pilihan hidup. [hal. 226]
  • “Hidup terus berjalan,” kata Zima jengkel. “Tidak akan ada peri yang datang padamu. Hanya kau satu-satunya orang yang dapat membuat dirimu bahagia.” [hal. 273]

2 komentar:

  1. Setuju banget. Sisi informatif ttg seni lukis, musik atau apapun itu akan terasa sia-sia dan mengganggu kalau pembaca nggak bisa relate bahkan tidak suka dg hal yang bersangkutan. Sama kayak yang aku baca nih, San Fransisco. Bukannya semakin menambah wawasan musik klasik, aku justru dibuat bosan dan terusik. Alasannya sederhana, karena aku tidak tahu menahu soal itu sama sekali. Tapi meski begitu pun kita ga bisa protes ke penulis. Karena lagi2 ini kembali ke masalah selera. Kalau dibilang ini salah kita (pembaca), ada benarnya juga. Ngapain kita baca buku kalau ceritanya ga bisa nyatu dg kita? Ya, ngga?
    Hal ini pun nanti akan aku ulas di review- nya, heheh.

    Anw, review yang bagus Mas :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebanyakan informatif, bukannya pembaca makin cerdas, bisa-bisa makin puyeng. hehehe. Tapi bisa aja diabaikan dan menikmati alurnya saja, kalau saya mah.

      Terima kasih ya :)

      Hapus