[Resensi] Renjana - Anjar

Perasaan damai di tengah konflik perasaan, itulah yang paling mengesankan saya setelah membaca tuntas Renjana ini. Banyak sekali renungan yang kemudian membuat saya terpekur sejenak untuk menyelami maksud yang ingin disampaikan si penulis.

Judul buku : Renjana
Penulis: Anjar
Editor: Dwi Ayu Ningrum
Desain cover: Sandra S. Hariadi
Layout: Rahayu Lestari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Desember 2013
Tebal buku: xiv + 242 halaman
ISBN: 9786020300948
Harga: Rp59.294 

Ola tak pernah mengira bahwa ia akan menyelam ke pusaran waktu, merasakan kembali gemuruh rasa yang dahulu menyapa hatinya tatkala di sebuah kapel kecil itu ia tak sengaja melihat sosok yang pernah mengisi sukmanya. Sosok yang telah menjadi brajanya. Daus. Romo Daus.  Renjana (rasa hati yang kuat) nyaris sepuluh tahun itu benar-benar berlimpah ruah hanya dalam beberapa menit melihatnya.

Dunia ini seolah menyempit. Pertemuan dua insan yang sama-sama pernah mencinta itu pun hadir. Getaran-getaran cinta menyeruak. Oh Tuhan, emngapa di antara kejenuhan menjalani rutinitas sebagai romo, ia justru hadir memberikan kesejukan? Pembawaan Ola yang tenang dan dewasa justru membuat gelombang rasa itu semakin bergejolak. Panggilan hati sang Romo untuk selamanya menyerahkan hidupnya pada Tuhan, kembali ditantang.

Di tempat lain, cinta lama Wie dan Tra mendadak datang tanpa permisi. Ikatan pernikahan dengan orang lain dan perpisahan dengan rentang waktu sekian lama ternyata tak bisa memupus rasa hati mereka.

Daus dan Wie sama-sama berada di persimpangan jalan yang membingungkan. Apa yang harus mereka lakukan dalam posisi tak menyenangkan kini, tapi telah menjadi pilihan mereka?

Ketika membacanya, anda tak akan pernah menyangka pilihan yang mereka ambil.

Novel Renjana ini menceritakan beberapa tokoh yang terhubung melalui perkenalan dan pertemanan, dan bergulat dengan perasaan masing-masing. Ada seorang Romo (Gabrielle Firdaus Abhipraya) yang keyakinannya goyah oleh masa lalu yang datang lagi. Ada seorang suami sekaligus ayah (Wylie) yang hampir melepaskan tanggung jawabnya hanya karena kemunculan email berisi puisi-puisi. Ada wanita (Carolina Wibowo) yang menjadi lebih bijaksana setelah melalui kegagalan-kegagalan asmara dan berakhir pada keputusan untuk tidak menikah. Ada juga seorang gadis (Gentra Laksmi) yang bimbang memutuskan untuk melanjutkan perasaan dengan pilihan yang sudah ada atau mengejar masa lalu yang tidak pernah memberikannya pilihan.

Saya katakan novel ini cukup ‘penuh’. Selain mengolah bentuk perasaan yang beragam, si penulis juga memasukkan beberapa hal untuk mempermanis jalan cerita. Dua agama; Khatolik dan Islam, disandingkan si penulis sebagai identitas tokoh untuk memperjelas latar belakang, dan bukan menjadi jurang untuk tokoh-tokohnya. Hubungan keluarga pun di masukkan si penulis sebagai pereda banyak gejolak dan kebimbangan. Seperti yang dialami Ola dengan papanya dan Daus dengan ibunya. Nilai persahabatan ditunjukkan oleh Ola - Aisyah, Ola - Wylie, dan Ola – Daru. Nilai rumah tangga diperlihatkan si penulis melalui keluarga kecil Wylie dan Dalimah yang didera sedikit prahara rumah tangga.

Renjana juga menyentil sisi manusiawi yang bisa rapuh dan goyah. Seperti ketika Romo Daus yang bimbang dengan pilihannya sebagai manusia sekaligus pria biasa. Di satu sisi ia ingin melepaskan perasaannya kepada lawan jenis. Di sisi lain, panggilannya sebagai Romo tidak mudah ditanggalkan. Lalu, dialami juga oleh Wylie yang sejak mendapatkan email berupa puisi-puisi, ia mengingat sosok masa lalu dan sejak itu gairah hidupnya untuk istri dan anak mulai kacau.

Kalau saya menggambarkan dengan diagram, novel Renjana ini bisa dikatakan novel yang datar. Mempunyai konflik perasaan tidak disajikan si penulis dengan meledak-ledak. Sepanjang cerita, si pembaca akan dibawa pada pikiran, suara hati, pertimbangan dan kegalauan tokoh-tokohnya. Biarpun demikian, novel Renjana sangat manis dengan cara si penulis bercerita melalui kalimat-kalimat puitis dan penggalan-penggalan puisi. Si pembaca akan hanyut dan dibuat penasaran dengan hubungan antara tokoh-tokoh yang ada, dengan apa yang akan diputuskan dan dengan apa yang akan dialami si tokoh tersebut.

Novel ini mengajarkan cinta sejati yang lebih dewasa dan menghormati pilihan hidup orang lain. Juga, mengajarkan hidup sederhana tanpa perlu menjadi sosok orang lain dan menghargai perbedaan yang ada di tengah masyarakat.

Rating dari saya: 3/5


Catatan:
  • Tapi tidak semua hal bisa dikonversikan ke dalam alat-alat kecanggihan seperti ini, apalagi urusannya untuk bertemu Tuhan [hal. 5]
  • Dalam kedekatan sekian lama ini, kehangatan dan perhatian banyak teman adalah obat mujarab dari kejenuhan dan masalah sehari-hari. [hal. 21]
  • Doa adalah senjata tercanggih untuk mengatasi kegundahan hatinya. [hal. 62]
  • “Masa lalu boleh kamu ajukan saat kembali menggundah. Tapi, jangan jadikan alasan untuk memudarkan semangat dan kekuatan masa kinimu...” [hal. 93]
  • “Uang itu urusan duniawi, Le... Kalau ada yang mencintai uang tanpa mengerti bagaimana cara menggunakannya dengan baik dan berguna bagi dirinya dan sesama, yo kuwi keliru. Tapi, Le, kamu mesti inget juga uang itu bisa menjadi bentuk dari energi yang bisa dipakai sebagai alat kebaikan. Jadi, Ibu pesan padamu..., sing bijak yo, Le menggunakan uangmu.” [hal. 100]
  • Tak peduli siapa ia, jika memang telah bersiap menuju cita, sebaiknya memang siap pula pada hadangan risiko di muka. [hal. 122]
  • “Aku tahu, keputusanku ini pasti akan berisiko banyak hal di depan. Tapi, bukankah tujuan hidup salah satunya adalah untuk memenuhi segala risiko dari keputusan?” [hal. 132]
  • Keseimbangan hidup itu adalah cara kita memandang orang lain dan membiarkan diri kita menjadi lebih baik karena kedua belah pihak. [hal. 156]
  • Menjalani hidup sekian waktu itulah, dengan gejolak yang terkadang mulus seperti jalan tol kadang memang membosankan. Tak aneh jika sering kali manusia membutuhkan tantangan baru agar yang membosankan itu bisa kembali berubah menjadi semangat untuk melakukannya. [hal. 178]
  • Tapi, pengalaman masa lalu banyak mengajarkannya agar mau merampungkan langkah yang telah diatur oleh-Nya tanpa terburu-buru. Tra percaya, segala sesuatu indah pada waktunya meski pikiran manusia kadang ingin segera mendahului masa indah itu. [hal. 187]
  • “Bagiku, menikah itu seperti menjadi manusia itu sendiri. Cukup sekali saja. Enggak perlu ada copy atau cloning segala. Kalau selama hidup sudah baik, mengapa harus dua kali. Belum tentu yang kedua juga lebih baik.” [hal. 214]

4 komentar:

  1. Not my cup of tea sih sebenarnya buku seperti ini. Ceritanya berat ya? Mas Adin suka banget buku2 lama begini :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya untuk cerita sih tidak berat, Bin. Hanya bahasanya saja yang terlalu puitis. Jadi saya juga pas baca rada hati-hati gitu. :)

      Hapus
  2. Review Milea dong, Mas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang Milea saya keep dulu. Belum ada mood buat baca cerita yang terkesan pengulangan euy. Tapi saya usahakan segera baca kok!

      Hapus