[Resensi] Matinya Burung-Burung - Ronny Agustinus


Judul:
Matinya Burung-Burung

Penerjemah: Ronny Agustinus

Penyunting: Dea Anugrah

Penerbit: Moka Media

Terbit: April 2015, cetakan pertama

Tebal: 168 hlm.

ISBN: 9789797959838

    Ini adalah buku yang memuat kumpulan cerita sangat pendek. Untuk penjelasan 'sangat pendek' ini dipaparkan langsung oleh penyusun pada pendahuluannya. Lalu, cerita yang terangkum di buku ini merupakan karya penulis dari berbagai negara: Bolivia, Uruguay, Kuba, Cile, Argentina, Guatemala, Nikaragua, Meksiko, Kolombia, El Salvador, Venezuela, Brasil, Panama, Republik Dominika, Kosta Rika,  dan Honduras. Karena latar belakang berbagai negara, maka tema dalam cerita sangat pendek di buku ini pun beragam.

    Karena mempunyai label 'cerita sangat pendek', tentu saja ini benar adanya. Misal di cerita berjudul Dinosaurus, hanya terdiri dari satu kalimat saja. Ketika ia terbangun, dinosaurus itu masih ada di sana. Dalam judul Fabel pun punya format sama, Dan tikus-tikus pun bersekutu memakaikan ular derik sebagai kelonengan kucing. Jika demikian adanya, saya pun tidak menaruh harapan mendapatkan cerita yang komplit mempunyai unsur tokoh, alur cerita, latar belakang, dan bahkan pesan moral dalam satu paket. Sepanjang membaca buku ini, saya menganggapnya sebagai latihan mengembalikan minat membaca buku sampai tuntas.

    Lalu bagaimana dengan cerita-cerita di dalamnya?

    Berbeda dari cerita pendek pada umumnya, sebagian besar cerita di buku ini terkesan hanya memaparkan satu kondisi, satu opini, bahkan satu kilasan ide yang melintas di kepala. Sehingga pengalaman membaca buku ini, ya sebatas membaca. Tapi di beberapa cerita, tentu saja ada yang memberi kesan. Misalnya di cerita pertama, Simulakra, yang menceritakan si anak yang menipu ibunya dari mulai sekolah sampai dia bekerja, semua dibuat tipuan, memberi pesan, "satu kebohongan itu akan mengundang kebohong lainnya."

    Jujur saja, semua cerita di buku ini tidak ada yang terhubung dengan saya. Alasannya karena latar belakang cerita dari negara asing yang sudah pasti berbeda keadaan dengan keadaan saya sebenarnya. Beda negara, beda rasa, beda sepengalaman. Bisa dibilang ada jarak antara saya dengan cerita di buku ini. Saya bisa menilai begini karena saat membaca kumcer dari penulis lokal, misal karya Puthut Ea atau karya Linda Christanty, ada keterikatan, ada persamaan, bahkan ada satu momen saya bisa bilang, "Ini cerita saya banget." Dan pengalaman ini tidak saya dapatkan saat membaca buku ini.

Cerita ini jadi viral pas kejadian jatuhnya pesawat dari salah satu maskapai dalam negeri, Sriwijaya Air. Memang kalau dibaca, rasanya bikin merinding. Ini mungkin perandaian percakapan para penumpang pasca mereka kembali ke pangkuan Tuhan.



    Bukan berarti buku ini jelek. Buku ini bagus untuk banyak orang yang memang bisa terhubung. Dan buku ini juga bagus untuk saya karena membuat saya bisa membaca buku sampai tuntas, setelah sekian lama saya mendeg membaca buku sampai halaman belakang. Jadi, pada akhirnya semua buku itu bagus, tergantung dibaca siapa, dan pengalaman apa yang diperolehnya.

    Terakhir, saya tidak akan bosan menutup ulasan pendek saya dengan, jaga kesehatan dan terus membaca buku.

***



2 komentar:

  1. Kita memang tidak memiliki keterikatan yang erat dengan Amerika Latin, karena itulah perasaan jauh ini kita rasakan saat membaca karya-karya penulis Latin. buku-buku dari Amrika Selatan juga baru diterjemahkan akhir-akhir ini jadi memang belum banyak terlalu mewarnai literasi di Indonesia. tapi jika baca karya-karya Eka Kurniawan, rasa Amerika Latin itu akan begitu terasa mas. Coba baca Matinya Seorang Pengarang sebagai awalan membaca sastra Latin mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Eh salah, maksudnya Matinya Seorang Penulis Besar karya Mario Vargas Llosa atau Rumah Kertas.

      Hapus